Jumat, 04 Juli 2008

RALAT

Press Release pada tanggal 6 Mei 2008

Pertemuan masyarakat korban Wilmar group di propinsi Jambi, belum lama ini, yang digelar oleh SETARA Jambi, di Hotel Ratu Kota Jambi, dengan tema “Membangun sinergi dan merancang strategi perjuangan bersama terhadap perusahaan perkebunan kelapa sawit dibawah Wilmar Group”.Wilmar Group merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit, produsen CPO dan juga biofuel bertaraf internasional, dan merupakan pemain kunci dalam bisnis ini. Sampai dengan tahun 2006, total “bank land” Wilmar Group untuk pembangunan kawasan perkebunan kelapa sawit mencapai 210,000 hektar yang tersebar di seluruh Indonesia, dan baru sekitar 66,367 hektar yang ditanam. Mereka juga mempunyai 18 pabrik pengolahan dengan total kapasitas produksi CPO sebesar 5,4 juta ton per tahun.Keberadaannya di Indonesia telah menambah panjang penderitaan bagi lingkungan dan social. Di Kalimantan Barat, perusahaan ini telah menyumbang konflik lingkungan dan sosial yang tidak sedikit. Berdasarkan laporan riset yang diterbitkan oleh salah satu NGO international Milieudefensie berkerjasama dengan NGO local yaitu Lembaga Gemawan dan KONTAK Rakyat Borneo tahun lalu memaparkan bahwa keberadaan perusahaan ini tak hanya berdampak pada eksistensi masyarakat adapt Dayak, tapi juga berbahaya bagi keberadaan hutan dan lahan gambut. Di Sambas misalnya, 2 anak perusahaan Wilmar telah mengkonversi hutan seluas 10.000 Ha, dan sebagian besarnya adalah hutan gambut . Tak hanya di Kalimantan, sumatera telah lebih dulu dirongrong oleh perusahaan yang berbasis di Singapura ini. Jika di propinsi Riau, atas nama PT Jatim Perkasa, telah menyumbang dosa yang juga tidak sedikit, dimana perusahaan ini telah menghancurkan hutan alam dan juga habitat harimau Sumatera, membuka areal dengan membakar, menanam diatas lahan gambut dengan kedalaman 3 meter lebih, dan mewariskan konflik pada petani plasma, maka di propinsi Jambi tak kalah rakusnya, dengan membeli perusahaan atas nama PT Asiatik Persada yang semula di kuasai oleh CDC-Pacrim dibawah managemen PRPOL kemudian Cargil, group Wilmar tidak hanya membeli perkebunan kelapa sawitnya, tapi juga telah membeli seluruh konflik yang telah ada sejak perusahaan berdiri di tahun 1980-an lalu. Hingga saat ini, group yang menyatakan diri akan menjadi group terbesar di Indonesia dan bahkan dunia, tidak berhenti disini, di Kalimantan Tengah, anak perusahaannya telah mencemari sungai Pondok Damar Kecamatan Mentaya Hilir Utara.Sebagai group yang terlibat dalam forum RSPO, dan sebagai penerima dana dari public melewati IFC sebagai divisi pendanaan sektor private Bank Dunia, semestinya perusahaan ini menghormati hak-hak masyarakat adat, lokal, lingkungan dalam perjalanannya sebagaimana yang dimandatkan dalam prinsip dan kriteria IFC untuk lingkungan dan sosial, dan standar serta criteria RSPO, tapi yang terlihat justru sebaliknya. Hampir seluruh anak group perusahaan fenomenal sepanjang sejarah ini memiliki persoalan dengan masyarakat adat (Jambi dengan suku Anak Dalam Batin Sembilan, Kalimantan dengan suku Dayak, Sumatera Barat dengan masyarakat Nagari).Berbagai cara telah dilakukan oleh kelompok masyarakat yang terkena dampak dari aktifitas anak perusahaan Wilmar Group diberbagai daerah, tapi karena strategi tekanan yang tidak terintegrasi bahkan tidak sinergi dengan baik membuat daya tekan tidak berdampak besar bagi perubahan yang diinginkan oleh masyarakat korban. Berangkat dari kondisi ini, beberapa NGO yang mendampingi masyarakat korban perusahaan perkebunan milik Wilmar Group untuk bertemu dalam satu forum dengan maksud membangun strategi bersama bagi masyarakat korban dalam memperjuangkan hak-hak sosial ekonominya. untuk mencapai tujuan dimana masyarakat lokal, lingkungan tidak lagi mendapatkan dampak negative dari sistem perkebunan kelapa sawit skala besar, maka membangun sinergy melalui pertemuan korban yang terkena dampak adalah sebagai usaha untuk mendorong masyarakat korban membangun strategi dan komitmen bersama dalam mendorong perubahan kebijakan perusahaan perkebunan kelapa sawit khususnya Wilmar Group.Tujuan Pertemuan masyarakat korban adalah :1. Berbagi pengalaman antar masyarakat korban dari berbagai propinsi di Indonesia2. Melakukan diskusi kritis dan dinamis, berbasis pengalaman dan sudut pandang masyarakat
korban tentang model dan bangunan strategi perjuangannya.3. Membangun secara bersama kebutuhan dan skenario bersama antar masyarakat korban
beserta strategi perjuangan secara realistis dan terukur.Ada 23 perwakilan masyarakat korban wimar dari berbagai daerah; Jambi, Sumatera Barat Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Masing-masing daerah menceritakan kornologis kasus yang mereka alami sebagai berikut :penyerobotan lahan peladangan dan tempat tinggal masyarakat setempat oleh perusahaan perkebunan milik wilmar dalam melakukan pembangunan kebun baru ataupun ekspansi: PT. Asiatik Persada Jambi, PT. Permata Hijau Pasaman, PT. Gersindo Minang Plantation Pasaman, PT. Agro Masang Perkasa Agam Sumatera Barat, Primata Mulya Jaya Pasaman Sumatera Barat, PT. Wilmar Sambas Plantation, PT. Buluh Cawang Kalimantan Barat, Riau, Kab. Kuantan Sengingi, PT. Citra Riau Sarana, Senujuh, PT. Wilmar Sambas Plantation, PT. Buluh Cawang Plantation Kalimantan Barat, PT Mustika Sembuluh , PT Mentaya Sawit Mas , PT, Karunia Kencana Permai Sejati, PT Bumi Sawit Kencana , PT Sarana Titian Permata (ex PT Rungau Alam Subur) Kalimantan Tengah.Dan pembangunan perkebunan perusahaan di ataskerap kali menggunakan cara-cara pembakaran dan mempunyai pengelolaan limbah yang buruk sehingga mengakibatkan pencemaran lingkungan terutama air mecemari air yang menjadi salah satu kebutuhan dasar hidup manusia.Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut masyarakat korban bersama NGO dan pemerhati lingkungan yang melakukan pendampingan terhadap masyarakat, bersinergi untuk mencari strategi penyelesaian sederetan masalah yang telah lama ada, salah satunya adalah dengan cara memanfaatkan peluang mekanisme komplain CAO (compliance Advisor Ombudsman) IFC- (International Finance Corporation) salah satu anggota Bank Dunia yang khusus membiayai perusahaan, dan RSPO (Rountable on Sustanable Palm Oil), dan terus mendorong pihak-pihak terkait seperti pemerintah baik daerah dan pusat untuk serius dalam mengupayakan penyelesaian persoalan-persoalan yang muncul akibat pembangunan dan ekspansi perkebunan kelapa sawit. Dan khusus msyarakat harus ada upaya bersama untuk meningkatkan kapasitas agar mampu menigkatkan posisi tawar untuk mengantisipasi pembanguan perkebunan kelapa sawit yang cendrung meafikkan hak-hak social dan ekonomi masyarakat setempat. ***(Berita ini di muat pada 6 Mei 2008)

Tidak ada komentar: