Minggu, 15 Juni 2008

Hutan di Sumatera Lima Tahun Mendatang Terancam Punah

Jambi -
Hutan di Sumatera yang meliputi sembilan provinsi mulai dari pesisir pantai barat Nanggroe Aceh Darussalam hingga Lampung diprediksi lima tahun mendatang terancam punah dan akan terjadi krisis pangan akibat tingginya laju deforestasi atau pengalihan fungsi hutan produksi ke lahan perkebunan.
Prediksi ancaman kerusakan hutan Sumatera yang membentang pegunungan Bukit Barisan, karena tingkat kerusakannya rata-rata seluas 500.000 hektar per tahun disimpulkan dalam pertemuan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) se-Sumatera.
Sejumlah Walhi Sumatera, misalnya Walhi Riau yang disampaikan Direktur Eksekutif, Jhoni S Mundung, hutan produksi, hutan lindung dan taman nasional di daerah itu nyaris punah akibat tingginya alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI).
Akibatnya Provinsi Riau ketika musim hujan banjir besar sulit dihindari dalam kurun 10 tahun terakhir karena Sungai Siak dan Sungai Kampar tidak mampu menampung, dan daerah-daerah resapan air di daerah itu nyaris sudah tidak ada.
Sebaliknya pada musim kemarau sungai-sungai mengalami pendangkalan cukup drastis mengakibatkan kekeringan yang luar biasa.
Ia menjelaskan, akibat banjir di Riau itu kerugian mencapai Rp3,7 triliun atau lebih besar dari APBD Riau hanya Rp3,5 triliun.
Kehancuran hutan produksi dan hutan lindung di Riau setelah kehadiran perusahaan bubur kertas (pulp) PT RAPP dan Indo Kiat yang membuka lahan HTI hampi seluas empat juta hektar, dan perkebunan kelapa sawit kini mencapai 2,1 juta hektar dan 160 unit pabrik kelapa sawit (PKS).
"Bisa dibayangkan dengan kehadiran HTI dan pabrik pulp di Riau itu setidaknya membutuhkan 16 juta meter kubik kayu per tahun. Kayu sebanyak itu tidak mungkin bisa dihasilkan HTI yang ujungnya menampung banyak kayu liar hasil pembalakan liar (ilegal logging)," ujar Jhoni.
Kerusakan parah hutan di Riau itu juga telah mengusik kehidupan Suku Talang Mamak yang hidup damai dan sejahtera selama ini ketika hutan adat mereka masih lestari.
Hal yang sama juga disampaikan Walhi Bengkulu, kerusakan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), demikian pula hutan lindung dan taman nasional di Jambi seperti diungkapkan Direktur Eksekutif Walhi Jambi Arif Munandar.
Tingkat kerusakan hutan produksi, hutan lindung, dan taman nasional di Jambi mencapai 99.000 ha per tahun akibat kehadiran HTI 460.000 ha dan pengembangan perkebunan kelapa sawit, serta pembalakan liar.
Sementara itu, Walhi NAD yang disampaikan Bambang Antariksa, hutan di Sumatera yang masih bagus hanya di Aceh atau lestari lebih 50 persen, terutama Taman Nasional Leuser.
Dari hasil pertemuan Walhi se-Sumatera itu, menurut Direktur Walhi Nasional Berian Porkan, kerusakan hutan itu bukan hanya di Sumatera tetapi sudah merata di seluruh Indonesia, seperti Kalimantan dan Sulawesi juga cukup parah.
Kerusakan hutan di Indonesia itu, menurut dia, akibat krisis multi dimensi mulai dari tatanan ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Sementara kebijakan pemerintah dan dewan tidak mengarah untuk kepentingan rakyat, karena swakelola yang dilakukan terhadap hutan hanya untuk kepentingan segelintir orang.
Sebab itu, perlu ada jaminan pemerintah Indonesia untuk melakukan restorasi atau membangun penghijaun hutan kembali yang butuh waktu hampir 500 tahun.
Walhi juga menilai pemerintah terlalu ceroboh jika menerima bantuan dana asing yang faktanya itu hanya pinjaman. Bantuan asing membangun hutan perlu ke hati-hatian sebab ada kepentingan yang bersifat positif dan negatif, kata Berian.***

Tidak ada komentar: